Manusia fitrahnya memiliki rasa malu dan pakaian sebagai bahan untuk menutupi bagian tubuh yang dirasa malu oleh manusia jika tampak.
Berbeda dengan binatang yang tidak memiliki rasa malu maka tanpa pakaian pun mereka tetap merasa enjoy dan nyaman. Sebaliknya jika mereka dipakaikan pakaian maka mereka akan merasa tidak nyaman, sama seperti manusia yang nyaman menggunakan pakaian maka apabila tanpa mengguunakan pakaian sudah pasti mereka merasa tidak nyaman.
Pakaian juga bisa dikatakan merupakan identitas dan suatu budaya, dapat kita lihat contohnya seperti masyarakat indonesia yang karena mayoritasnya agama Islam maka tampak kebanyakan orang indonesia sering menggunakan pakaian yang tertutup.
Lain halnya dengan orang barat yang mayoritasnya bukan beragama islam sehingga tak heran jika kita lihat tampak mereka senang berpakaian terbuka dan juga berbeda halnya dengan orang arab sana yang mayoritasnya Islam juga karena faktor lingkungan dan cuaca maka tak heran pula jika sering kita lihat tampak wanitanya menutup seluruh tubuh mereka dengan bahan yang tebal juga bercadar.
Karena selain berpakaian sesuai syariat Islam mereka juga melindungi diri dari deburan pasir digurun yang dapat mengganggu pernafasan juga melindungi kulit dari terkena langsung teriknya matahari di sana.
Dalam Al-Qur’an, pakaian terbagi menjadi 3 istilah yaitu Libas, Tsiyab dan Sarabil.
Tiga istilah tersebut meski sama-sama digunakan untuk menunjukkan makna “pakaian”, tetapi masing-masing mengandung makna yang berlainan.
Pertama; Libas. Alquran menggunakan kata ini dengan makna pakaian yang selalu melekat, yakni keharusan selalu menutup bagian aurat (sauah). Disebutkan dalam QS. Al-A’raf ayat 26 bahwa Allah menurunkan pakaian untuk menutup aurat (libas yuwari sauatikum), artinya kemaluan atau aurat harus selalu ditutup.
Jadi kata libas yaitu pakaian yang bertujuan untuk menutup bagian yang harus selalu ditutupi.
Kedua; Tsiyab. Kata ini digunakan Alquran dengan arti pakaian yang tidak selalu dipakai. Dalam satu waktu dipakai, dalam waktu lain dilepas, dipakai lagi dan seterusnya. Maksud pakaian yang diistilahkan dengan tsiyab bukan untuk menutup kemaluan atau aurat, tetapi untuk memperindah diri (tajammul) atau menutup sekujur tubuh karena dingin atau yang lainnya.
Ketiga; Sarabil. Kata ini bentuk jamak dari sirbal, artinya baju kurung panjang. Pakaian ini disebutkan Alquran bukan sebagai penutup aurat, melainkan bagian dari tsiyab, yakni untuk hal-hal lain seperti melindungi tubuh dari cuaca panas dan dingin, serangan senjata atau sekadar menutup tubuh di luar “pakaian primer” (libas).
Dalam QS. An-Nahl ayat 81 disebutkan bahwa busana sarabil dijadikan untuk melindungi tubuh dari panas dan melindungi senjata yang menyerang dalam peperangan (sarabila taqikum al-harra wa sarabila taqikum ba`sakum).
Aurat adalah bagian dari tubuh manusia yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain dengan pakaian. Adapun batasan aurat lelaki menurut pendapat jumhur Ulama mengatakan bahwa aurat sesama lelaki adalah antara pusar sampai lutut.
Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat sedangkan paha dan yang lainnya adalah aurat. Adapun dalil dalam hal ini, semua hadistnya terdapat kelemahan pada sisi sanadnya, tetapi dengan berkumpulnya semua jalur sanad tersebut menjadikan hadist tersebut bisa di kuatkan redaksi matannya sehingga dapat menjadi hujjah. [Lihat perkataan Syaikh al-Albâni dalam kitabnya Irwâ’ 1/297-298, dan Fatawa al-Lajnah ad-Dâimah, no. 2252].
Sedangkan batasan aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59.
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda mengenai batasan aurat wanita. 'Aisyah radhiallahu'anha, beliau berkata :
“Asma' binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun berpaling darinya dan bersabda, 'Wahai Asma, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini', beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (H.R Abu Dawud)
Dan karena aurat ini bagian yang sangatlah penting untuk wajib ditutupi, bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengingatkan agar telapak bawah kaki tertutup auratnya. Ummu Salamah radhiallahu'anha ia berkata :
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika bersabda mengenai masalah menjulurkan ujung pakaian, aku berkata kepada beliau, 'Wahai Rasulullah bagaimana dengan kami (kaum wanita)?'. Nabi menjawab: 'Julurkan lah sejengkal'. Lalu Ummu Salamah bertanya lagi: 'Kalau begitu kedua qadam (bagian bawah kaki) akan terlihat?'' Nabi bersabda: 'kalau begitu julurkan lah sehasta'.” (H.R Ahmad).
Lalu bagaimana dengan polemik cadar saat ini? Menurut KBBI cadar adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Seperti yang dijelaskan di atas tadi bahwasanya wajah wanita bukanlah aurat sehingga tidak mengapa atas wanita untuk tidak menutup wajahnya dengan cadar.
Namun perlu diingat batasan aurat wanita dikalangan ulama pun berbeda – beda. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam hal ini harusnya dapat mewadahi kadernya dalam kondisi apapun dan tidak mengahakimi. Di dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah pun telah disebutkan bahwasanya cadar “tidak dianjurkan” karena batas aurat untuk perempuan adalah wajah dan telapak tangan jadi dalam fiqh yang dipahami Muhammadiyah tidak ada kewajiban mengenakan cadar dan lebih baik tidak.
Menanggapi hal itu tentunya bukan tanpa alasan toh perempuan yang tidak bercadar akan lebih mudah dikenali dan lebih mudah juga dalam bersosialisasi sehingga orang kebanyakan juga mudah mengenali ‘identitas’ kita.
IMMawati, begitu kiranya gelar untuk kader perempuan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Tidak jarang kita temui banyak kader IMM yang menggunakan cadar namun apakah itu salah? tidak, jika dilihat dari keurgensiannya mengenakan dan komitmen serta niatnya yang ‘lurus’ bukan karena hal duniawi apalagi jika hanya karena si doi yang kita incar menginginkan wanita yang bercadar lalu kitapun bercadar karena itu nauzubillahimindzalik.
Boro – Boro terkait pemahaman mereka bercadar itu sebagai teroris atau radikal. Hari ini cadar seakan menjadi tren lalu dengan santuy nya mereka lepas dan pasang sehingga ditakutkannya bukan hanya merusak identitas diri mereka sendiri namun juga ikatan.
Wanita yang kelebihannya ialah memiliki rasa malu, harusnya kita sebagai IMMawati menampakkan akan hal itu. Bukan malu lalu tidak berani melakukan amar ma’ruf nahi munkar namun rasa malu yang tidak malu – maluin sebagai hakikatnya seorang wanita. Sehingga jelas, Identitas IMMawati seyogyanya ialah pakaian malunya, dengan anggun dalam moral dan mempunyai akhlak serta etika yang baik.
________________
Biografi Singkat Penulis
Nama : Nur Melinda
Asal Pimpinan : PC. IMM Kota Banjarmasin
Kampus : Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
Instagram : @nrmelinnda
0 Comments